Kamis, 18 Februari 2016

AYAH

SALAH satu kebahagiaan dalam hidup saya adalah saat menatap berlama-lama dan dalam-dalam wajah ketiga anak saya yang sudah tertidur pulas di malam hari. Mengenang detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun yang telah kami lalui bersama. Anak-anak yang mengajarkan banyak hal kepada orangtuanya, baik dalam tangisnya maupun dalam tawanya. Anak-anak yang menjadi matahari di siang hari dan rembulan di malam hari bagi sanubari orangtuanya. Ketika kecil, belajar merangkak, melangkah tertatih-tatih hingga mulai belajar membereskan tempat tidurnya dan terjatuh saat belajar naik sepeda roda tiga, anak-anak seperti mengingatkan saya untuk tidak terlalu bergegas, tergesa-gesa dan terburu-buru menjalani kehidupan ini. ''Tanganku masih kecil, kakiku masih belum kuat melangkah, genggam erat tanganku, jangan berjalan terlalu cepat. Kelak, aku juga dapat berjalan beriring bersamamu, ayah dan bunda.'' Tatapan matanya begitu bening, begitu polos. Ya, anak-anak kecil belum melihat banyak hal di luar rumah. Tapi tatapannya seperti mengingatkan saya, ''Aku belum banyak melihat, dan kelak beri aku kesempatan menatap dan mengarungi dunia dengan aman. Jangan batasi aku dengan sedikit-sedikit melarang untuk tidak melakukan ini-itu. Laranglah, bila itu memang sangat perlu untuk dilarang.'' Anak-anak jaman sekarang, sekali kita ''meleng'' sudah berubah menjadi besar. Menjadi bukan anak-anak lagi. Ia tak mau lagi dipeluk, apalagi di depan teman-temannya. Ia tak mau lagi diajak jalan-jalan bersama, karena ia sudah punya teman bermain sendiri, dan sudah punya jadwal sendiri. Tak peduli sejenak kepadanya, seperti ada garis waktu yang hilang, di mana saat itu anak-anak sebenarnya berharap mendapat penjelasan tentang dunia yang akan dihadapinya kelak. Tak jarang, anak-anak membangkitkan rasa kesal. Rasa amarah, meski kemudian saya sesali sendiri, kenapa saya mesti marah? Tatapan matanya, dan linangan air matanya, seperti menyadarkan saya, bahwa ia masih anak-anak. Perasaannya lembut. Ia meminta diperlakukan, sebagaimana saya ingin diperlakukan oleh orang lain. Tak harus dihadapi dengan bentakan. Anak-anak kita tentu membutuhkan dukungan dan dorongan untuk tumbuh dengan baik. Untuk menghadapi masa depan, yang berbeda sama sekali dengan masa-masa yang pernah dihadapi orangtuanya. Mereka tak menutup pintu untuk menghadapi konsekwensi atas perbuatannya yang salah. Tetapi ia membutuhkan penjelasan, mengapa perbuatan itu salah. Jika tidak, hukuman yang kita berikan, apalagi diselip perasaan benci, akan tertanam di batinnya, dan kelak bisa berbuah dendam. Tak jarang pula, kita memaksakan kehendak. Dari mulai urusan berpakaian, berdandan, dan pilihan sekolah. Padahal, baik menurut kita, belum tentu baik menurut mereka. Pantas menurut kita, belum tentu pantas menurut mereka. Mari jujur bertanya ke diri sendiri, apakah pilihan kita itu untuk menyenangkan mereka, atau hanya untuk memenangkan gengsi kita di hadapan orang-orang? ''Ayah, Bunda, beri aku kesempatan belajar mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Beri aku kesempatan untuk mengalami kegagalan atau berbuat kesalahan sehingga aku dapat belajar dari hal itu. Bantu aku untuk mengatasi kegagalan dan memperbaiki kesalahan sehingga kelak di masa depan aku sudah siap mengambil keputusan yang tepat untuk hidupku.'' Anak-anak juga tak suka untuk dibanding-bandingkan dengan adik atau kakaknya, dengan saudara-saudara lain dan juga dengan orang-orang lain. Entah kenapa, kerap kali keluar kalimat, ''Contoh dong dia, rajin belajar, patuh, pintar, makanya dia bisa jadi juara kelas.'' Pertanyaannya, predikat ''juara kelas'' dalam kalimat itu adalah untuk kebahagiaan anak itu atau untuk kebanggaan dan kebahagiaan kita sebagai orangtua? ''Siapa dulu dong, bapaknya?'' Dan ketika sudah bisa menebak isi buku raport anak, jika hasilnya diprediksi jelak, ayah dan bunda saling suruh untuk mengambilnya. Tak berani menghadapi kenyataan. Buruk muka cermin dibelah. Satu lagi, kerap kita mendengar nasihat, sekali waktu berliburlah hanya berdua, suami-istri, untuk berhoney-moon yang kesekian kalinya, agar ''api asmara'' itu tidak padam. Kerap, dengan mengatasnamakan anak, kita tolak nasihat itu. ''Kasihan anak-anak, harus ditinggal atau dititip ke neneknya.'' Jangan terlalu ge-er, jangan terlalu banyak alasan untuk menghindari kemesraan bersama pasangan hidup kita. Karena, anak-anak juga butuh liburan tanpa kedua orangtuanya, sama seperti orangtua yang butuhkan liburan tanpa anak-anaknya. Lebih dari segalanya, anak adalah hadiah terindah dariNya. Sudahkah kita memperlakukan mereka sesuai kehendakNya? Hari ini, saya bisa menjawab: belum! Maafkan ayahmu, Nak.... Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/akumaman/curahan-hati-seorang-ayah_552a6a6f6ea8346558552d01

1 komentar: